MASIH
banyak orang yang diam-diam mencari kuda api. Aku tahu itu. Mereka bergerak
seperti bayangan, bersilangan di tembok-tembok. Saling bercuriga dan tentu,
rapat menyimpan rahasia. Siapa saja mereka? Di antara mereka sendiri pun, barangkali,
tak saling mengenal selain hanya menduga-duga. Ah, kuda api, kuda sihiran!
Kuda pejantan itu, konon, seluruh bulunya berwarna merah laksana api menyala,
dengan sulai bagai terbakar....
"Setiapkali
kuda api lewat," kata engkong, "Seolah tercipta puting
beliung." Aku terpukau dan mencoba membayangkannya. Meski kata engkong,
kuda itu terlampau cepat. Nyaris tak seorang pun dapat melihatnya dengan
jelas. Ia selalu lewat bagaikan angin, sehingga hanya kelebat bayangan
merahnya saja yang tertangkap mata.
Ah,
sebenarnya hikayat ini telah lama berkembang di kampung kami, dan tampaknya
tak seorang pun yang masih memedulikan. Ia ibarat cerita yang sudah basi,
setelah turun-temurun dikisahkan. Meski tetap saja mengendap. Mungkin hanya
engkong yang masih setia menumbuhkannya di kepalaku hampir setiap malam
sebelum tidur. Seolah beliau punya kewajiban memelihara hikayat itu, dan
berkewajiban pula menumbuhkannya dalam kepalaku.
Entah
berapa ribu kali sudah, beliau berkisah tentang kuda merah itu. Dengan
suaranya yang serak namun teratur, engkong seakan hendak menghadirkan kuda
mestika itu dari negeri antahberantah. Dan antara kantuk dan terjaga, aku
seolah dapat mendengar derap ladam kuda itu memalu tanah, juga sambaran angin
keras dari tubuhnya yang berkelebat laksana anak panah terlepas dari busur.
Melesat entah ke mana. Hanya bayangan merah, ya, bayangan merah. Kian
mengabur dari pelupuk mataku yang berat bersama suara derap kakinya yang
menjauh. Sebelum tertidur lelap, aku masih sempat membayangkan debu-debu yang
mengepul.
Dan
aku bermimpi melihat kuda itu. Begitu gagah di atas tebing cadas yang
menghadap ke laut, sementara langit bulan lengkung. Si kuda api, dengan tubuh
laksana api menyala, meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya
tinggi-tinggi. Ringkikan yang penuh luka, penuh resah. Terasa mendirikan bulu
roma.
SEPASANG
mata lelaki tua bersorban putih itu tampak begitu gelisah di bawah remang
nyala obor. Entah sudah berapa lama ia mondar-mandir di halaman surau kecil
di tepi hutan itu. Sesekali ia mendongakkan kepalanya ke langit malam yang
buram, lalu mengelus-elus janggutnya yang separuh warna. Sementara tangan
kanannya yang mengenggam tasbih bergerak tiada henti.
"Sudah
lewat sepertiga malam, Guru," salah seorang dari dua lelaki muda yang
sedari awal hanya diam di bawah rindang sebatang rambutan, tiba-tiba
bersuara. Lelaki tua bersorban tidak menjawab, hanya terus mondar-mandir
sambil menghitung biji tasbihnya. Lelaki muda bertubuh ceking yang bicara
jadi salah tingkah. Angin berembus sedikit kencang, membuat daun-daun
pepohonan mendesau. Lelaki muda ceking itu menggigil kedinginan,
"Guru...."
"Diamlah,
Pengkin!" hardik lelaki tua bersorban melirik tajam. Wajahnya tampak
semakin gelisah di antara liukan api obor bambu yang tertancap di halaman surau.
Malam semakin hening, terasa mencekik. Tak terdengar suara jangkrik atau
kodok. Lelaki tua bersorban kembali mendongak ke langit, mendesah kecewa
karena apa yang ditunggunya belum juga muncul. Langit nyaris tertutup
mendung, hanya beberapa bintang berkerdip lemah.
"Guru...,"
akhirnya lelaki muda yang satu lagi memberanikan diri bersuara, tentu dengan
hati-hati, "Apa kita akan tetap menunggu, bagaimana kalau...,"
ucapannya berhenti, matanya tak kalah gelisah.
"Kita
tunggu sebentar lagi, Indra," tukas lelaki tua bersorban tegas. Indra
cuma mengangguk. Ketiganya kembali terdiam. Angin kali ini seolah membeku,
pohon-pohon tegak kaku bagaikan makhluk-makhluk asing yang sedang berjaga.
"Guru!
Lihat!" tiba-tiba Pengkin berteriak sambil menunjuk ke arah langit.
Lelaki tua bersorban dan Indra seketika mendongak. Ada senyum kecut yang
memanjang di wajah keriput lelaki tua bersorban, buru-buru ia memasukkan
tasbih ke kantong jubah hijaunya. Mulutnya berkomat-kamit entah mengucapkan
kalimat apa.
"Mana
patung kudanya?" tanyanya agak tersengal sambil mengulurkan tangan pada
Pengkin. Bergegas lelaki ceking itu membuka buntalan kain yang selalu
disandangnya. Tangan Pengkin sedikit gemetar ketika mengeluarkan benda dari
dalam buntalan itu. Sebentuk patung kuda dari kayu berukuran sejengkal,
berwarna merah tersembul dari balik kain. Segera diulurkannya patung kuda
tersebut kepada lelaki tua bersorban yang menerimanya dengan cepat. Masih
berkomat-kamit, lelaki tua bersorban meletakkan patung itu dengan hati-hati
di depan kakinya.
"Ingat,
apa yang terjadi malam ini adalah rahasia kita bertiga. Jangan pernah
sesekali kalian ceritakan kepada siapa pun, atau kita semua akan celaka.
Terlebih rahasia mantranya." Lelaki tua bersorban menatap kedua muridnya
dengan wajah tegang, suaranya dalam seperti mengancam. Wajah Pengkin dan
Indra ikut tegang. Keduanya mengangguk kaku.
Lelaki
tua bersorban kembali mendongak ke langit. Bulan sabit tampak berkilau
keperakan. Indah namun terasa mencekam. Lelaki tua itu mengangkat kedua
tangannya, tengadah seperti berdoa. Cukup lama, sebelum akhirnya perlahan
kedua telapak tangannya dibalikkan menghadap patung kuda yang terletak di
atas tanah di depan kakinya.
Aku
mendengar lelaki tua itu mengucapkan "bismillah" lalu serentetan
kalimat cepat yang tak kupahami meluncur dari bibirnya.
"Kemarikan
obor!" teriaknya. Dan aku terbangun dengan sekujur tubuh banjir
keringat. Kulihat dipan di sampingku kosong, engkong tak ada. Ah, ke mana
engkong? Kedua mataku masih terasa berat, tapi aku kepingin kencing.
KAU
memanggil kuda itu "Sapar Maulana". Entahlah, dalam mimpimu yang ke
berapa kau pernah mendengar nama itu disebutkan. Oleh siapa dan di mana
tempatnya, kau barangkali lupa. Tapi kau seakan begitu yakin, kuda itu memang
diciptakan pada bulan Sapar, ketika bulan sabit yang muram tampak begitu
anggun sekaligus menakutkan di atas langit. Didahului lafadz
"bismillah", kau membacakan mantra penjinak yang entah sejak kapan
kau ingat di luar sadar. Kuda merah itu meringkik keras. Semak-semak tersibak
oleh angin kencang tatkala kuda itu menderu ke arahmu. Sejenak air mukamu
mengeras, matamu terbelalak, mungkin antara takjub dan takut. Tapi ketika
kuda merah itu sampai di hadapanmu, dengan sigap kau melompat. Hup! Hup!
Hiiyaaaa...! Dengan tangkas dan ringan, kau melompat ke atas punggungnya yang
menyala dan menyambar sulainya yang terbakar. Hiiiyaaaaa...! Kau segera
menggebrak si kuda api, kedua kakinya terangkat dan ringkikan keras
melengking dari moncongnya sebelum akhirnya melesat ke depan laksana anak
panah. Menerobos semak belukar dan pepohonan.
Aku
tertegun. Tak percaya kau begitu gagah, bagaikan Indra yang menderu ke medan
laga dengan golok batu di tangan kanan, mata yang bernyala-nyala dan wajah
bercahaya terbasuh air wudhu. Ada gema azan isya yang sumbang mengasah
ringkik si kuda api, dan aku seakan kembali melihat orang-orang kafir putih
dan para pengkhianat yang kocar-kacir, bertumbangan tersambar tajam golok
batu atau terdepak kaki si kuda api. Tubuh-tubuh terlempar. Warna merah
berhamburan di atas semak belukar, warna darah dan api yang saling berbelit.
"Kuda
api kuda sihiran! Bawalah aku kepada musuhku-musuhku, kita tumpas semua iblis
penenung tanah moyang! Merajah siang, mendepak malam!" Indra berteriak
lantang.
Ah,
seperti yang telah lama tersurat, setiap kali golok batu ditebaskan, sesosok
tubuh akan roboh bersimbah darah. Dan kuda api menjelma kuda sedeng, melesat
kian-kemari bagai mata panah mencari mangsa. Berkelebat bagaikan bayangan,
bagaikan deru angin. Panji-panji perang terbakar di tengah padang semak
samun. Pedang, golok, tombak, cambuk terus bersilangan, seperti berkejaran
dengan rakaat Salat Isya. Kulihat Indra terus mendesak ke depan kepungan
orang-orang kafir putih dan para pengkhianat. Pelor-pelor yang beterbangan
dikibasnya dengan sekali putaran golok batu, cukup setengah lingkaran.
Wajahnya terang bagaikan purnama. Ya, sebagaimana nujuman sang guru, setiap
kali kuda api mendengus, satu nyawa dipastikan melayang.
Tapi
aku melihat satu sosok yang tak asing menyelinap di tengah barisan musuh. Wajahnya
pucat bagai tak berdarah. Ya, kukenali sosok itu sebagai Pengkin. Tubuhnya
tampak jelas gemetar di atas punggung kuda hitam ketika merapat ke kuda
pimpinan orang kafir putih yang berwajah tak kalah pucat. Entahlah apa yang
dibisikkan, malam terlalu gaduh oleh denting logam beradu dan letupan pelor.
Ketika kuda hitamnya melesat ke depan barisan, Pengkin kian gemetaran. Salah
seorang pengkhianat mengulurkan obor padanya yang disambut dengan gugup.
Kutahu, Indra bakal menarik tali kuda api. Kutahu betul! Kuda api meringkik
keras dan mengangkat kedua kaki depannya ke atas.
"Kau!"
Indra mendesis kaget. Pengkin masih gemetar di atas punggung kuda. Keduanya
bertatapan. Wajah terkejut Indra perlahan-lahan berubah merah, semakin merah
di bawah terang purnama lima belas dan nyala puluhan obor. Tangan kirinya
terlihat kejang pada kekang. Keheningan menjadi sempurna. Puluhan obor meliuk
gelisah. Kulihat tangan kanan Indra yang mengenggam golok batu bergetar.
Tiba-tiba Pengkin kembali menggebrak kudanya maju sambil berteriak garang.
Tangan kanan Indra bergetar keras, tapi kulihat kebimbangan bersarang di
sepasang matanya yang kelam.
"Kuda
api, kuda sihiran! Dari kayu kembali ke kayu, dari api kembali ke api! Bila
ini mantra tak cukup mengantar kau pada moksa, pergilah kau ke dunia hikayat
yang tak kasat mata!" sembari mengangkat obor di tangan kanannya
tinggi-tinggi, Pengkin berseru lantang. Lalu.... Bla, bla, bla, bla, bla,
blaaa...! Sederetan kalimat meluncur deras dari mulutnya, tak terpahami.
Kuda
api meringkik keras, meraung. Sekujur tubuhnya laksana dikobari api dahsyat.
Di atas pelana, Indra berteriak. Tubuh lelaki muda itu terjungkal dari
punggung kuda. Semua orang ikut berteriak demi menyaksikan bagaimana si kuda
api berputar laksana gasing. Angin berpusing bagaikan beliung. Tubuh-tubuh
terlempar ke udara, semak-semak tercabut, batu-batu berhamburan, pohon-pohon
tumbang. Lalu purnama lima belas Ramadan sehening kuburan....
Tapi
kau bukan Indra, Cucuku! Aku tahu hatimu tak pernah bimbang. Aku yakin, kau
akan tetap menggebrak si kuda api mendepak maju menjemput kematian musuh! Kau
telah menyaksikan dalam mimpi-mimpimu, bagaimana kuda api menghilang ke dunia
hikayat, golok batu patah berdentang di atas batu hitam, dan Indra, pendekar
yang bimbang, mati dengan dua belas lubang pelor di tubuhnya.
Kunujum
kau jadi satria kelana pembawa nubuat lama yang tak kenal bimbang, Cucuku!
SEPERTI
yang telah aku katakan, hikayat itu telah lama berkembang di kampung kami.
Telah lama sekali, sehingga tampaknya tak seorang pun yang masih mau
menggubrisnya, berkenan meluangkan waktu untuk menuturkan dan menyimaknya.
Lagipula, hikayat dan dongeng-dongeng baru terus saja berlahiran. Lebih
canggih dan lebih menarik. Tentu, siapa lagi yang mau mengisahkan dan
mendengar sebuah cerita lama yang tokoh utamanya jadi pecundang! Barangkali
hanya kami berdua, engkong yang terus menuturkannya berulang-ulang, dan aku
yang selalu bersedia mendengarkan.
Namun
tidak! Aku tahu, tidaklah benar jika hanya kami berdua yang masih menjaga dan
menghidupkan kisah. Ya, aku tahu, diam-diam, banyak orang yang masih terus
berusaha mencari si kuda api yang lenyap ke dalam hikayat --tatkala mantra
sakti diucapkan Pengkin di malam purnama lima belas Ramadhan-- itu. Masih
banyak orang. Mereka berseliweran seperti bayangan yang tak kentara di
tembok-tembok, di antara rapat pepohonan. Waspada dan penuh rahasia.
Karena
syahdan, sebagaimana cerita engkong, suatu hari si kuda api akan kembali dan
siapa pun yang memilikinya akan mendapatkan kedigdayaan.
"Tetapi
hanya seorang yang telah ditakdirkan berjodoh dengannya, mampu memanggil si
kuda api kembali dari alam hikayat," tukas engkong, "Seorang yang
bersedia merawat hikayatnya dan tak bimbang seperti Indra. Seorang yang mampu
mengucapkan mantra saktinya, dan konon ruh si kuda api sendirilah yang akan
membawakan mantranya kepada orang itu."
Engkong
melirikku tajam, dan aku membayangkannya seperti orang tua bersorban putih
yang menciptakan si kuda api dari patung kayu dan api obor di malam bulan
Sapar ketika bulan sabit muram di atas langit. Ah, jawara tua berjenggot
putih tanpa lawan yang menemui kematiaan naas di malam Lailatul Qadar!
"Karena
pengkhianatan Pengkin, muridnya," cerita engkong, entah untuk yang ke
berapa ribu kali. Aku hanya mengangguk, tak lagi dengan penuh penasaran
bertanya seperti saat pertama kali engkong menuturkannya. "Kenapa, Kong?
Kenapa Pengkin mengkhianati gurunya?"
Waktu
itu engkong tertawa terkekeh. Beliau tidak segera menjawab, tapi sibuk
melinting tembakaunya sehingga aku harus bertanya dua kali. Mata engkong
berbinar-binar, seolah begitu menikmati ketidaksabaranku menunggu lanjutan
kisah.
"Karena
si kuda api ternyata memilih Indra sebagai penunggangnya. Padahal sang guru
telah mengangkat Pengkin sebagai pemimpin lasykar para santri," bisik
engkong sembari menghisap tembakau lintingannya dalam-dalam. Asap tembakau
yang harum meliuk-liuk lalu perlahan melayang keluar lewat jendela kecil
pondok yang terbuka. Aku mencoba membayangkan kekecewaan Pengkin dan
diam-diam menjadi gelisah. Angin malam sedikit kencang, mengantarkan udara
yang basah dari halaman.
AKU
bisa menyaksikan sosok Pengkin menyelinap ke pekarangan belakang surau kecil
itu. Sesekali bayangan tubuhnya timbul-tenggelam di antara rapat tanaman
singkong. Bulan separuh muncul-menghilang di balik awan tebal. Cahaya yang
samar sekilas menyinari wajahnya, memperlihatkan air mukanya yang begitu
tegang.
Aku
terus mengikuti langkah lelaki ceking itu hingga tiba di depan pintu belakang
surau. Kulihat ia menoleh ke kiri-kanan-belakang dengan cepat. Setelah
memastikan tak ada orang, lelaki ceking itu bergegas mengetuk pintu,
"Guru.... Guru, ini aku, Pengkin."
"Guru...,"
sekali lagi ia memanggil. Angin serasa membeku. Cukup lama, pintu itu baru
terbuka perlahan.
"Cepat
masuk!" terdengar suara berat berbisik. Pengkin cepat-cepat menyelinap
ke dalam, dan pintu segera tertutup.
Ruangan
itu gelap, hanya ada nyala kecil sebuah lampu yang tampaknya kekurangan
minyak di pojok. Tapi aku bisa mengenali sosok lelaki tua bersorban yang
duduk bersila di tengah ruangan itu. Pengkin langsung menjatuhkan diri duduk
di hadapannya.
"Kau
yakin tidak ada yang melihatmu?" suara lelaki tua bersorban terdengar
tajam. Pengkin hanya mengangguk. Aku merasakan aura di dalam ruangan itu
sangat tidak nyaman.
"Kau
siap melakukannya 'kan?" tanya lelaki tua bersorban. Pengkin tidak
menjawab, hanya menunduk.
"Pengkin!
Jawab pertanyaanku!" lelaki tua bersorban menghardik.
"Aku
tidak tega, Guru...," suara Pengkin terdengar kecut.
"Dia
sudah jadi pendekar kesohor yang dipuja orang di mana-mana. Dan jadi tinggi
hati, seolah hanya dialah jawara! Sedang kau cuma jadi cecunguk!" lelaki
bersorban mendengus, "Dipikirnya tanpa kuda api ciptaanku, dia bisa jadi
seperti sekarang." Aku merasakan sekujur tubuhku bersimbah peluh karena
gerahnya ruangan.
"Tapi
bagaimanapun dia sahabat baikku," jawab Pengkin lemah, masih menunduk.
"Aku
tidak suka sikapmu yang pasrah, Pengkin! Kau pikir dia sungguh-sungguh
menganggapmu sebagai sahabatnya?" suara lelaki tua bersorban bergetar
menahan kemarahan. Api lampu minyak mendadak padam, dan ruangan menjadi
pengap.
"Lakukanlah
besok malam! Kita akan diserang tepat waktu isya. Ini perintah!" tegas
lelaki tua bersorban, "Kau paham, Anakku?" "Iya,
Guru...," Pengkin menjawab lirih.
"Sudah
berulang kukatakan, jangan panggil aku guru kalau kita sedang berdua. Panggil
ayah," suara lelaki tua bersorban tiba-tiba berubah lembut. Dan aku
tahu, dalam gelap Pengkin menunduk semakin dalam.
NAMUN
engkong masih terus bercerita bagaimana kecewanya lelaki tua bersorban pada
pengkhianatan muridnya, Pengkin.
"Dia
harus menemui kematian begitu mengenaskan karena pengkhianatan Pengkin,"
tukas engkong dengan nada sedih, "Lenyapnya kuda api dan tewasnya Indra
telah melumpuhkan kekuatan para santri dan begitu memukul hati Syekh
Maulana.”
Lalu
engkong kembali mengisahkan peristiwa pada malam dua puluh delapan Ramadan
itu. Aku merasakan malam yang begitu sunyi. Tak ada sesayup pun suara. Segala
satwa malam seolah lelap, bahkan angin seolah mati. Dari dalam surau kecil di
pinggir hutan itu, hanya lamat-lamat terdengar suara orang mengaji yang
begitu merdu dan sempurna. Mengalun seperti perahu jung di tengah lautan.
"Tapi
menjelang dini hari," kata engkong seperti menahan sesuatu,
"Kesunyian itu dipecahkan oleh hiruk-pikuk derap kaki kuda dan
teriakan." Aku menahan tegang. Kubayangkan barisan ratusan batang obor
di atas punggung kuda yang bergerak cepat menuju surau kecil di pinggir hutan
itu. Derap kaki-kaki kuda itu semakin lama semakin keras.
"Keluarlah
Syekh Maulana! Kau sudah terkepung!" begitu rombongan itu sampai di
depan surau, sang pemimpin orang kafir putih segera maju dan berseru lantang
di atas punggung kuda. Tapi tiada jawaban dari dalam surau, selain suara
mengaji yang mengalun merdu. Ratusan kuda meringkik gelisah. Pemimpin orang
kafir putih itu tampak kehilangan kesabaran, "Syekh Maulana, keluarlah
dan menyerah baik-baik, kau akan kuampuni! Atau kami terpaksa mendobrak
tempat ibadahmu!"
"Tak
perlu repot-repot," tiba-tiba sebuah suara menyahut tenang. Dengan kaget
semua orang berpaling ke arah batang rambutan di sudut kanan halaman surau.
Seorang lelaki tua bersorban entah sejak kapan telah berdiri di bawah pohon.
"Syekh
Maulana, kau kami tangkap!" teriak pemimpin orang kafir putih dingin,
"Bawa dia!" Lelaki tua bersorban bergerak maju memasang kuda-kuda.
Aku
melihat lagi ratusan mata pedang, golok, dan kapak terangkat, memantulkan
merah cahaya obor yang meliuk-liuk ganas. Aku melihat ratusan busur dan bedil
terpasang. Tapi tak perlu kuceritakan bagaimana tajamnya ratusan mata pedang,
golok atau kapak berkelebat, dan bagaimana ratusan mata panah dan pelor
melesat setelah Syekh Maulana menolak dibawa. Mungkin engkong benar, Syekh
Maulana terlalu yakin dengan ketangguhan jurus bombang dan wapak kebalnya,
sehingga ketika ratusan mata pedang, golok, kapak, mata busur, dan pelor
bersarang di tubuhnya, ia masih terbelalak tak percaya. Seharusnya ia memekik
menyebut nama Allah atau mengulang dua kalimah syahadat, tapi tubuhnya keburu
ambruk tanpa suara. Aku yakin, ia tahu seseorang telah membocorkan rahasia
kesaktiannya....
Ai,
entah untuk yang keberapa ribu kali, engkong menatapku demikian rupa sehabis
bercerita. Dan aku mengerti makna tatapan itu. Aku memang bukan Indra, tapi
aku juga tak ingin menjadi penunggung kuda api yang kedua setelah Indra. Aku tak
ingin menjadi pendekar kelana pembawa nubuat lama dalam nujumannya. Bila saja
mungkin, aku hanya ingin seperti Pengkin, lenyap ke dalam suram hikayat dan
tak pernah diramalkan akan kembali.
"Bila
saja mungkin...," Aku mendesah sambil melirik kedua kakiku yang
kekecilan dan lunak tak bertulang.
|
0 komentar:
Posting Komentar